Label:

Sebuah kesempatan yang langka saat saya beserta teman-teman finalis Mas Dan Mbak Jawa Tengah bisa mengunjungi sebuah perusahaan jamu terkemuka di Indonesia yaitu Jamu Cap Nyonya Meneer. Saat memasuki gedung tersebut, PR dari Nyonya Meneer menjelaskan bahwa paling tidak jumlah karyawan wanitanya adalah 70% dari total jumlah karyawan yang ada.


Wow, it is such a huge number of female workers for a noted company, huh?


Nah dari sanalah pemikiran awal dari penulisan ini. PR dari Nyonya Meneer menjelaskan bahwa dia juga tidak tahu menahu mengenai adanya “tirani” yang mempekerjakan wanita dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini membuat saya berpikir “Tidakkah ada semacam paham feminisme liberal yang perusahaan tersebut tanamkan dalam pengelolaan karyawannya?”
Mungkin sebagian orang akan berpikir ini merupakan pemikiran yang mengada-ada atau berlebihan mengingat tidak adannya bukti nyata. Akan tetapi bagi saya bukti nyata tersebut sudah jelas terpampang bahkan saat kami keluar dari area perusahaan tersebut. Satpamnya aja cewe bo’.
Dengan jumlah yang cukup banyak, tentunya perusahaan itu juga membantu mengangkat derajat wanita. Kenapa bisa?
Let us see, Emma Goldman dalam bukunya The Traffic in Women and Other Essays menjelaskan bahwa salah satu alasan wanita menjadi pelacur adalah karena mudahnya mendapatkan uang hanya dengan menjual diri. Mereka berfikir bahwa jika hanya dengan menjual diri saja bisa mendapatkan uang maka hal inilah yang akan mereka lakukan. Jika kita hubungkan denga keadaan ini maka akan kita dapatkan fakta bahwa dengan Nyonya Meneer mengangkat dan menyelamatkan keadaan wanita. Dengan membuka lowongan pekerjaan tersebut wanita akan selamat dari prostitusi. Hal inilah yang saya coba tegaskan dalam tulisan saya.
Saat menuju hotel Horizon, tempat kami dikarantina, saya sempat mengemukakan pendapat tersebut kepada teman semobil saya. Namun respon mereka justru menganggap pemikiran saya terlalu jauh dan ribet.
Uhm, bagi saya hal ini bukan sesuatu yang ribet, diada-ada, atau tidak jelas asal mulanya. Karena apapun paham yang secara sadar atau tidak sadar ditanamkan dalam perusahaan tersebut, saya acungkan jempol!!! Mengingat jumlah wanita yang ada semakin banyak dan tentunya harus diimbangi dengan peluang pekerjaan juga yang sejajar dengan jumlah yang ada.
Oleh karena itu, apapun alasan Nyonya Meneer mempekerjakan wanita dengan jumlah sebanyak itu sangat saya hargai dan apresiasi.
Selamatkan wanita Indonesia dari kemiskinan dan tentunya prostitusi.
Maju terus wanita Indonesia.



Tyra Banks adalah seorang super model yang WWOOOOWWW!!! Gosh! She’s over 40 but still rocks. Dan seperti yang kita tahu bahwa dia disibukkan dengan menjadi host serta executive producer di America’s Next Top Model. Sebuah acara pencarian model papan atas yang berskala nasional (Amerika). Dengan adanya acara ini sudah banyak wanita Amerika yang berlomba untuk berada dalam acara tersebut. Tentunya bagi mereka yang ingin berpartisipasi dalam acara ini harus memenuhi kriteria tertentu seperti tinggi badan yang tidak boleh di bawah 5’7” (sekitar 173 cm) walau ada satu episode khusus dimana kontestannya mimiliki tinggi tidak lebih dari 5’7” (cycle 13).

Para kontestan benar-benar berusaha keras untuk mendapat gelar tersebut walau sadar ataupun tanpa sadar mereka telah menjadi sebuah tontonan menarik. Menarik karena kita bisa melihat mereka di make over, terlibat drama, menangis di dalam confession room, dan semua adegan yang membuat mereka “menjual” keberadaan mereka.



Saya sempat berpikir “Tidakkah ini semacam Eksploitasi Wanita?”

Pendapat saya tentunya tidak terlalu lebay jika kita kaitkan dengan beberapa kenyataan yang ada.

· Saat mereka di make over

Ini saat dimana mereka mendapat penampilan berbeda dari sebelumnya. Kadang penampilan yang kontestan dapat sesuai dengan yang ia inginkan meski lebih banyak dari mereka yang komplain dengan hasil make over tersebut. Disini saya lihat para kontestan menjadi “kelinci percobaan” bagi hairstylist. Ingatkah kalian dengan Brenda di Season 14 dimana tampilannya akhirnya dirubah karena dianggap terlalu tua setelah ia melakukan make over.

· Saat mereka terlibat drama

Here you are. Bagian terfavorit saya selain photo shoot. Dimana terjadi cat fight. Tapi yang jadi masalah, sadarkah yang mereka bahwa saat mereka terlibat drama baik itu berupa percecokan, pengumpatan, atau mungkin perkelahian sebenarnya mereka menjadi sebuah tontona yang mengasyikkan. Tentu saja mengasyikkan jika dibanding dengan sinetron-sinetron Indonesia. Tapi saya yakin bahwa bagian drama itu memang berbau unsur kapitalisme atau komersalisme. Jika memang tidak mengandung unsur tersebut, untuk apa ditayangkan hayooo???




gambar di samping adalah Brenda (cycle 14) yang sedang adu mulut dengan kontestan lain (kalau tidak salah Angelea)






· Saat mereka curhat dalam confession room

Jangan pikir drama yang ada selesai sampai disitu. Di dalam tempat tinggal mereka disediakan sebuah ruangan untuk curhat. Disana mereka bisa curhat apa saja. Umumnya yang mereka curhatkan adalah drama yang terjadi di tempat mereka tinggal. Untuk apa ditayangkan? Kalau bukan untuk menarik penonton. Sekali lagi, mereka adalah objeknya dan kita adalah subjeknya yang melihat kelakuan mereka di depan kamera.

· Bukan maksud sok tahu, tapi siapa alumni ANTM yang benar-benar menjadi seorang TOP Model?

Ini yang menjadi pemikiran terakhir saya. Bagi saya belum ada lulusan ANTM yang benar-benar menjadi TOP model. Jadi bisa diasumsikan bahwa apa yang menjadi fokus bagi produser adalah saat mereka menjabat sebagai kontestan. Setelah selesai mereka tetap menjadi model dan berkarir, tapi mana TOPnya?

Setelah menilik semua bukti-bukti yang ada, saya berpendapat mungkin ini ada hubungannya dengan Marxist Feminism. Dimana wanita menjadi pusat dari “korban” kapitalisme. Ini bukti bahwa kapitalisme benar-benar ada dalam acara ini.

Tetapi dibalik itu semua, kita tahu bahwa itu adalah sebuah acara dan mereka (para kontestan) bersedia melakukannya.

Jadi jika mereka mau, kenapa tidak?

Particularly in the West, women are exploited not only in literature but also in economic and social conditions (Bressler, :151).

Hari itu, Kamis tanggal 12 Agustus 2010 merupakan hari yang sangat melelahkan serta panas. Yah, mungkin ini bisa saja hanya mendapat predikat hari panas tetapi bukan melelahkan jika tidak karena puasa dan sibuk mondar-mandir mencari informasi tentang salah satu tempat magang yang akan menjadi tujuan saya dan teman-teman saya kelak. Saya, Widyawati, dan Soraya Hetami adalah sekelompok mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang sedang mencari informasi mengenai sistem magang kerja di TIC (Tourism Information Center) yang bertempat di Jalan Pemuda (nomernya saya lupa, maaf. Pokoknya samping SMA 3 persis lah). Alasan mengapa saya dan teman-teman saya ingin mencoba di tempat tersebut adalah mungkin kita bisa mengembangkan ilmu bahasa Inggris kita yang standar-standar saja serta mungkin bisa jadi musketeers untuk generasi berikutnya yang ingin magang disana.
Begitu saya sampai disana, saya sempat berbincang-bincang dengan salah satu wanita yang juga magang disana. Bukan sebuah pembicaraan yang signifikan sebenarnya, hanya sebatas basa-basi untuk menyegarkan badan di bulan puasa ini. Sampai akhirnya kita bertemu dengan seseorang dari TIC dan berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menyarankan kepada kami untuk pergi ke Dinas Pariwisata Tingkat Propinsi jikalau kita ingin mendaftarkan diri sebagai pemagang kerja dan bertemu dengan seseorang di Bagian Umum. Hal ini disebabkan karena dari TIC sendiri hanya bisa merekrut orang melalui Dinas Pariwisata. Ok I C!!!
Tibalah kita di Dinas Pariwisata Propinsi yang berjarak tidak lebih dari 300 meter dari TIC. Disana kita bertemu dengan seseorang pria yang memberikan pengarahan lebih lanjut untuk magang disana. Alangkah kaget dan shocked serta bingung, dicampur jadi satu dengan kebodohan kami bertiga saat mendengar pertanyaan dari orang tersebut, ”Judul laporannya apa dik?” Sontak kami diam sesaat. Widya yang biasanya paling banyak cakap diantara kita juga diam. Saya mencoba menjadi sosok Leonardo DeCaprio dalam film Inception yang calm dan mencoba bertanya mengenai pertanyaan bapak tersebut. Dan ternyata setelah penjelasan yang cukup jelas dapi orang tersebut, kita mengetahui bahwa jika ingin magang di tempat tersebut kita harus memiliki judul laporang kita. Paling tidak JUDUL.
Setelah mendapat penyegaran visi ke depan dari orang tersebut, kami menginggalkan nama serta nomer hp yang bisa dihubungi. Alangkah kagetnya kami saat mengetahui dalam daftar buku yang akan kami isi dengan nama kami terdapat pula nama Wilda Nurul Umami dan Vita Rosalia. Keduanya adalah teman sekelas kami. Bincang punya bincang, akhirnya kami selesai mengobrol dengan orang dari dinas tersebut dan kami diperbolehkan meninggalkan ruangan dengan satu catatan, jika kita ingin magan disana kami harus kembali lagi dan menyerahkan JUDUL yang akan jadi laporan magang kami.
Keluar dari ruangan Widya benar-benar panik. Omongannya ngalor-ngidul ngetan-ngulon. Saya mengajak mereka duduk untuk sekedar mengobrolkan masalah ini. Sampai disini, kami mecoba menelaah mengenai masalah JUDUL tersebut.
JUDUL
Tidak pernah terbesit dalam pikiran salah satu dari kita bertiga untuk sekedar mendapat ilham mengenai JUDUL tersebut.
Ya, semua itu memang harus ada judul, kalau tidak ada, ya nanti dikira film bokep deh. :p
However, that’s nit the point that I want to spot. Permasalahannya adalah bahwa kita harus memahami apa yang kita lakukan dari awal. Pemberian judul bukan hanya sesuatu yang formal adanya. Hal itu merupakan semacam vision kita ke depan. Pemberian judul sejatinya bukan hanya untuk essai atau laporan pekerjaan tetapi juga saat kita mau memasuki sebuah institusi atau bekerja. Terlebih, judul merupakan acuan kita untuk melangkah ke depan. Bukan hanya dalam sebuah tugas, tetapi lebih general lagi juga menyangkut hidup.
Judul memberikan kita visi.
Judul memberikan kita tujuan
Judul menahan kita pada batas-batas tertentu agar tidak pergi tidak jelas entah kemana.

So, have u decided about your title in your Life?

Recently, there was held an award called Emmy Award. This award is given for those who work in television industry. Just like any other awards, there must be Red Carpet moment. This is just like a celebrity runaway. They dress up, use make up, and ready to heat up the cameras and pers. Then, when they get all these things, they are as if racing to get the front row of attention on red carpet. Looking stunning and getting the full appreciation are the goals. So both men and women are trying to get the cameras’ leading role. It’s all about H 2 T (Head To Toe).

For women, edgy, or sophisticated dress are some choices that can be wore on red carpet. However fabulous dress ain’t enough! Make up and hair do are other crucial parts. In this case, some work and some fail. But if we can see them all or if they stand up in a row, then we’ll find different types and colors of dresses. It’s just a rainbow; colorful and unique. If we can conclude about these women’s dresses, they all can express what they want by choosing dresses (let us put aside about whether the dress is glamorous or horrible). Thus, women can dress more varieties.

But what about the men? Here’s the fact, most of the men on red carpet wear Tuxedo (maybe all of them). And it seems that men are bounded to dress up. Though men can make some variation on tuxedo, still they will be judged unfair. Why do I call it unfair? Just look at Neil Patrick Harris dressing up on this Emmy. What’s wrong? The color? Or the model? I think the color and model are fine. But some people said the opposite side from me. Joan Rivers, one of the Fashion Police said it’s horrible one and she with the other judge gave him The Worst Male Dress. Rivers stated that if you wear tuxedo, just keep it simple. How could she say that? I mean we are living in 2010. If she and the others keep talking that if we wear tuxedo then make it simple, then the question is when it would be last? I think it’s time for male to break the rule in wearing the tuxedo. Just look at Adam Lambert in D&G. wow!! That’s freaking awesome dude!!! He looked great in blinked tuxedo. He’s just one of the men who ready to step up and break the rules of wearing tuxedo. So in the end, I’ll say that Just because we are men doesn’t mean that we can’t look different, colorful, and brave while wearing tuxedo.


Adam Lambert looking gorgeous, right? He's brave enough to break the rules of old typed tuxedo













Harris, on right and left side

Ingin rasanya saya tertawa saat mengingat masa laluku. Dimana saat saya masih mengenyam pendidikan SD. Saat pelajaran berlangsung, seorang guru bertanya satu-satu kepada murid-muridnya mengenai cita-cita kita. “Pilot, Pembalap, Astronot, Presiden”. Semua jawabannya terdengar sangat sangat berkualitas. Very high-expectable. Dan saat itu saya kalau tidak salah menjawab Dokter sebagai pilihan saya. Hhmmm, masuk akal juga mengingat teman SDku yang tidak lebih pintar dariku menjawab kalau dia ingin menjadi seorang Menteri.

Saat umur bertambah; tinggi, berat, dan pemikiran telah berkembang untuk berbagai hal yang lebih maju seperti halnya evolusi manusia purba ke homo sapien. Cita-cita pun tidak stagnan seperti yang kami pikirkan seperti saat kita masih SD. Saat sudah menginjak SMP, saya ditanya oleh seorang kolega dari ayah mengenai cita-citaku. Aku pun menjawab, aku ingin menjadi Pegawai Pajak. Dari Dokter menjadi Pegawai Pajak??? Kenapa? Alasannya satu, karena waktu itu saya melihat anak dari ibu kosku sukses sebagai seorang pegawai pajak. Sukses karena memiliki mobil bagus. Sukses karena memiliki rumah besar. Sukses karena Materi. Dan perkembangan otak dan naluri anak-anak SD ke ABG SMP pun mulai berkembang untuk menentukan cita-cita mereka. Dari seorang Pilot menjadi seorang Insyinyur. Dari seorang Pembalap menjadi seorang Montir. Dari seorang Astronot menjadi Guru. Dan dari seorang Presiden menjadi Seorang-Apa-pun-lah-yang-penting-bisa-memimpin-makhluk-sejenisnya. Inilah yang disebut perubahan. Perlahan ataupun cepat. Kasat mata ataupun terlihat jelas. Menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Dan semua perubahan itu tidak terhenti saat SMP, karena pada umumnya kita akan melanjutkan pendidikan formal kita. Itupun kalau kita memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan.

Saat sudah mengenal pilihan hidup yang lebih kompleks di jenjang SMA, pilihan untuk memilih kelas Ilmu Alam, Sosial, atau Bahasa serta pilihan untuk populer atau kuper menjadi sebuah makanan yang tak bisa kita abaikan. Pilihan untuk sebuah cita-cita pun menjadi sebuah mercusuar kita saat akan lulus SMA. Thank God! Otak kita masih cukup untuk bisa berfikir akan seperti apa kita nanti kelak karena sebuah lembaga penyedot uang bernama Universitas yang memberi kita pilihan untuk memilih fakultas apa yang akan kita pilih. Sehingga kita bisa menentukan cita-cita kita. Mau jadi Dokter, Politisi, Ahli Budaya, Pegawai Negeri Sipil, atau Pegawai Negeri SakPenak’e. semua terbantu dengan universitas yang telah mengerucutkan cita-cita kita ke depan kelak.

Nah yang menjadi sebuah masalah adalah justru saat kita sudah berada di tanjung masa perkuliahan kita. Pertanyaan-pertanyaan konvensional yang rasional sering menghantui kita.

“Setalah lulus kuliah nanti, kamu mau kerja jadi apa?”

Jika anda merasa berada dalam situasi ini, cobalah untuk terdiam sejenak untuk memikirkan hal ini. Terdiam sejenak tanpa musik, makanan, HP, facebook, twitter, atau apa pun yang mungkin bisa mengalihkan konsentrasi anda.

Jika anda sudah menemukan jawabannya baik tanpa perenungan atau dengan perenungan, GOOD JOB!!! Paling tidak otak anda masih bisa berfungsi seperti halnya saat masih SD. Namun jika anda tidak bisa menjawabnya. Satu pertanyaan lagi, Kenapa? Saat anda masih SD, anda bisa menjawabnya dengan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari ibu-ibu yang berebut mengejar Sale. Tetapi saat otak telah berkembang lebih baik dan lebih banyak mendapat ilmu baik formal maupun informal anda justru kebingungan saat menjawab pertanyaan ini.

Itulah yang menjadi dasar semua ini. Kenapa saat kita masih kecil, kita bisa dengan sangat mudahnya memilih pilihan cita-cita kita. Namun setelah beranjak dewasa justru kita tidak bisa menentukannya. Apa otak kita terlalu banyak dijejali dengan materi-materi rongsokan yang justru membingungkan kita untuk jadi apa, atau otak kita mulai berfikir secara realistis karena bagaimanapun juga kita harus mensinkronkan apa yang kita punya dengan apa yang kita inginkan. Akan tetapi hal ini tidaklah bisa menjadi sebuah alasan kenapa kita menggaruk kepala saat ditanya pertanyaan di atas. Come on guys. Is it so hard to choose just ONE job/occupation just for your future?

Memang benar kita bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Memang benar masih banyak orang yang lebih berkualitas dari kita di luar sana yang menginginkan hal yang sama seperti yang kita inginkan. Memang benar bahwa jumlah pelamar pekerjaan dengan lowongan pekerjaan tidak sejajar. Memang semua itu benar. Akan tetapi apakah dengan semua kebenaran itu membuat kita memutuskan hasrat kita untuk memilih atau paling tidak bercita-cita? Sepertinya kita memang harus mengembalikan semangat masa kanak-kanak kita ke dalam diri kita sekarang. Bukan sebuah keinginan babu belaka akan tetapi sudah ditambah dengan bumbu-bumbu idealisme yang kita miliki sekarang. Milikilah semangat masa kanak-kanak itu!

Setelah menilik semua hal di atas sebelumnya, mungkin benar bahwa inilah yang disebut Evolusi. Sebuah perubahan yang terjadi pada sebuah spesies. Dan hal ini pulalah yang terjadi pada spesies bernama manusia.

Label:

No one knows what I feel now. Yes, I guess I’m falling in love with someone. Someone whom I’ve known for such a long time, but I don’t know why this feeling crushes me now.

Love? Passionate? Desire?

Hard to explain of course. I don’t know how it happens to me. But I just try to face it, no matter what people will say about my feeling. It’s just another of their opinions about my personality. It’s just people talking. Right!!!!

And now, it’s time for me to show up what I feel inside.

I LOVE HIM

Without him, I guess I can’t live. He’s the one who makes me happy. Every time I see him, it’s just like a happiness moment whenever I see his smile. The way he treats me ain't like the others'.
- He comforts me
- He makes me happy
- He loves me the way I am

I love him and so does he. Now, we are falling in love each others. No one could divide us. Yes, he is irreplaceable for me

I love him.
And do you know who he is?



HE IS ME

I love myself more than other people expect. I know perhaps other people think that my head is full of insanity. It’s all up to them to have opinion about me, it’s just their imaginations about me. And I still carry on with myself.

Yes, I love myself with everything that I have including outside and inside.

**message for everyone who reads this writing**
TRY TO LOVE YOURSELF FIRST!!!
Because who will love yourself except yourself first.
Bookmark and Share